SEPUTAR ASURANSI SYARIAH |
|
Islam memandang asuransi sebagai suatu perbuatan yang mulia karena pada dasarnya Islam senantiasa mengajarkan umatnya untuk mempersiapkan segala sesuatu secara maksimal, terutama selagi manusia tersebut mampu dan memiliki sumber daya untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan hadist (perkataan Nabi Muhammad SAW) yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi mengatakan: “Pergunakanlah lima hal sebelum datangnya lima perkara: muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati.” Jika demikian maka asuransi sesuai dengan makna hadist tersebut, yaitu manusia dianjurkan untuk tidak menyia-nyiakan segala sesuatu, termasuk di dalamnya menghambur-hamburkan kekayaan. Manusia diwajibkan agar dapat mempergunakan kekayaannya untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat, seperti mempersiapkan masa depan bagi keluarga dan anak-anak tercinta. Allah SWT dalam Al Qur’an juga memerintahkan hamba-hambanya untuk senantiasa mempersiapkan diri dalam menghadapi hari esok. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk menabung ataupun berasuransi. Menabung adalah setiap upaya mengumpulkan sejumlah dana yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak ataupun kebutuhan yang lebih besar di kemudian hari. Sedangkan, berasuransi adalah mempersiapkan diri ataupun keluarga jika terjadi suatu musibah seperti kecelakaan, penyakit kritis, cacat, meninggal, dll, atau untuk menyiapkan diri jika suatu ketika pencari nafkah atau tulang punggung keluarga pada usia tertentu sudah tidak produktif lagi, atau mungkin ditakdirkan meninggal dunia. Oleh sebab itulah, untuk merancang masa depan yang lebih baik dan untuk menghadapi kehidupan di hari esok dengan lebih baik dan terencana sangat diperlukan sebuah perencanaan keuangan yang cermat dan tepat sesuai kebutuhan masing-masing individu. Namun demikian, Islam memandang asuransi sebagai suatu hal yang baik, namun pada produk-produk asuransi tradisional atau konvensional yang ditemui di pasar masih terdapat tiga unsur utama yang tidak sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan ketentuan-ketentuan dalam fiqih muamalah. Ketiga unsur dalam asuransi tradisional atau konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip Syariah tersebut (yang dikenal dengan Magrib) adalah:
Penjelasan Maysir, Gharar dan Riba’
Hal ini dilarang dalam Islam berdasarkan Al Qur’an surat Al Maa-idah (5) ayat 90, yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, maka hendaklah kamu jauhi, agar kamu mendapat keberuntungan.” Contoh maysir yang terdapat dalam asuransi adalah bila perusahaan asuransi menyelenggarakan undian sebagai hadiah pada aktivitas promosi, maka biayanya tidak boleh dibebankan sebagai harga pokok penjualan kepada semua orang, tetapi harus murni uang yang dikeluarkan untuk biaya promosi, tidak boleh mengakibatkan manfaat dari premi asuransi lain yang tidak mendapat undian jadi berkurang.
Gharar dilarang dalam Islam karena: a) Pihak-pihak yang mengikat kontrak tidak mengerti ketentuan/konsekuensi dari kontrak tersebut. b) Sehingga hal ini dapat menempatkan mereka pada posisi tawar menawar yang tidak seimbang, dan akibatnya mereka tidak bisa membuat keputusan dengan jelas. Contoh Gharar pada zaman dahulu yaitu penjualan yang ditentukan dengan melempar batu. Artinya bahwa pembeli membayar jumlah (harga) tertentu kepada penjual dengan cara melempar sebuah batu kepada sejumlah barang. Bila batu tersebut mengenai sebuah barang, maka terjadilah penjualan tersebut. Sehingga hal ini dapat merugikan pihak pembeli karena ada ketidakjelasan tentang ketentuan dan konsekuensi dari transaksi/kontrak tersebut. Dengan demikian posisi tawar menawar (bargaining position) salah satu pihak tersebut tidak seimbang sehingga mereka tidak dapat mengambil keputusan yang jelas berkaitan dengan transaksi tersebut. Kontrak penjualan semestinya merupakan suatu hal yang sangat serius dan tidak boleh dilakukan dengan metode lempar batu seperti itu. Contoh gharar yang terdapat dalam asuransi adalah bila seandainya perusahaan asuransi menyatakan akan membayar klaim maksimal 20 hari sejak adanya kesepakatan jumlah klaim yang dibayar. Dalam hal ini terjadi unsur ketidakjelasan mengenai “20 hari”. Apakah maksudnya 20 hari kerja (tidak memasukkan hari Sabtu, Minggu, dan hari libur), ataukah 20 hari kalender?
Dalam hukum Islam atau syariah, riba’ dapat terjadi dalam dua situasi utama, yaitu: (1) Riba’ al duyun yaitu riba’ yang terjadi karena transaksi utang piutang (2) Riba’ al buyu yaitu riba’ yang terjadi karena transaksi penjualan Dalam Al Qur’an, larangan melakukan riba’ terdapat dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 275, yang berbunyi: “… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’…” Dari ayat inilah, para ulama fiqih muamalah mentafsirkan bahwa riba’ dilarang bagi umat Islam untuk melakukannya. Larangan melakukan riba’ ini mencakup pada aktivitas-aktivitas sebagai berikut: (1) semua aktivitas pinjam meminjam yang berdasarkan bunga (2) penghasilan tetap pada deposito bank konvensional Oleh karena itu, agar sesuai dengan konsep syariah, maka produk asuransi syariah tidak boleh mengandung atau melibatkan aktivitas riba’ di dalamnya. Riba’ dalam asuransi adalah sbb: (1) Investasi terhadap premi yang diterima ke dalam aktivitas investasi yang berbasis riba’ (2) Pinjaman Premi Otomatis (Automatic Premium Loan/APL) (3) Pinjaman Polis Pada asuransi tradisional, terdapat unsur-unsur riba’ pada penerapannya, seperti:
Pada semua aktivitas tersebut di atas terdapat unsur-unsur riba’ di dalamnya, dan semua aktivitas tersebut sama sekali tidak boleh ada dalam produk asuransi yang berbasis syariah. |